Selasa, 01 Februari 2011

KENDALA WISATA

Beberapa Kendala Pengembangan Pariwisata di Banda a. Kesulitan Transportasi Seorang wisatawan berkebangsaan Belanda dan dua orang lagi berkebangsaan Inggris yang bersama-sama saya menuju Ambon terpaksa membatalkan rencananya mengunjungi kepulauan Banda Neira, obyek wisata utama Maluku. Wisatawan itu membatalkan niatnya dan segera terbang ke Bali, setelah tahu bahwa pesawat yang akan menuju Banda Neira baru terbang sekitar tiga hari lagi. Sedangkan kapal Pelni Rinjani yang biasanya mengangkut penumpang dengan route Ambon-Banda Neira, saat itu masih ada di Surabaya. Kesulitan transportasi seperti di atas merupakan peristiwa yang biasa namun merupakan salah satu kendala utama dunia pariwisata di Maluku atau daerah wisata di Indonesia Bagian Timur lainnya. Indonesia Bagian Timur adalah daerah pariwisata Indonesia yang tak kalah menariknya dari daerah kunjungan wisata lainnya di Indonesia. Kalau di Indonesia Bagian Barat kita mengenal obyek wisata utama seperti Barobudur, Bromo, Taman Mini Indonesia Indah, termasuk Bali, Lombok dan sebagainya, maka obyek wisata yang cukup menarik di Indonesia Bagian Timur antara lain adalah Taman Laut Bunaken, Tanah Toraja, Pulau dan Taman Laut Banda, Suku Asmat dan sebagainya. Namun kendala utama pengembangan pariwisata di Indonesia Bagian Timur adalah masalah transportasi, mengingat umumnya wilayah geografisnya adalah terdiri dari kepulaun di samping masalah lainnya seperti sumberdaya manusia, manajemen dan pemasaran. Jadi masalah trnasportasi pariwisata di Banda juga adalah masalah umum yang dihadapi oleh dunia pariwisata di Indonesia Bagian Timur, terutama adalah tranportasi dari dan ke Banda, sedangkan untuk tranportasi lokal di Banda tidah bermasalah karena dapat diatasi oleh industri tranportasi yang dikelola oleh masyarakat sendiri. Seperti yang telah dijelaskan di muka bahwa sebenarnya ada transportasi laut dan udara yang digunakan menuju Banda, namun kesulitan umum yang dihadapi wilayah Indonesia Bagian Timur menjadi problem dan momok pariwisata di Banda, karena sewaktu-waktu bisa saja jadwal pelayaran dan penerbangan berubah, karena keterbatan armada atau bahkan kerusakan armada. Walaupun ada transportasi alternatif yaitu pelayaran swasta yang beroperasi untuk route Ambon-Banda atau sebaliknya, namun kenyamanan dan ketepatan waktu juga menjadi kendala sehingga tetap saja pariwisata Banda menggantungkan harapannya pada jadwal kapal Pelni maupun penerbangan udara yang ada. b. Kendala Jarak dan Biaya Transportasi Obyek wisata di Indonesia Bagian Timur yang letaknya masing-masing amat jauh menjadi problem sendiri. Karena pusat-pusat wisata cukup jauh dari pintu utama pariwisata Indonesia yaitu Jakarta dan Bali, maka kebutuhan transportasi menjadi mahal dari biaya akomodasi lokal selama di daerah obyek wisata itu sendiri. Suatu contoh seorang wisatawan yang hendak berkunjung ke Taman Laut Bunaken, apabila ia dari Bali, maka ia harus mengeluarkan uang sekitar ± $250 untuk biaya transportasi, padahal biaya sebesar itu sudah cukup untuk akomodasinya di sana sekitar lebih satu minggu. Biaya transportasi yang mahal itu belum menjamin bahwa sewaktu-waktu dapat menggunakan alat transportasi yang dibutuhkan. Bagi wisatawan waktu adalah biaya, karena itu apabila ia harus menunggu angkutan dalam beberapa hari maka itu berarti dia harus merogok kantongnya lebih dalam lagi. Selain itu keselamatan transportasi di daerah-daerah kunjungan wisata Indonesia Bagian Timur terkesan alakadarnya. Faktor keselamatan belum banyak mendapat perhatian, yang penting alat transportasi yang dibutuhkan itu ada. Melihat kendala-kendala pengembangan pariwisata di Indonesia Bagian Timur seperti yang dijelaskan di atas, maka persoalannya tidak terlepas dari konteks pembangunan Indonesia saat ini yang cenderung memusat ke Indonesia Bagian Barat. Karena itu apabila hendak mengatasi persoalan pariwisata di atas, maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah deregulasi transportasi Indonesia Bagian Timur. Indonesia Bagian Timur yang luas wilayah airnya melebihi wilayah daratan itu membutuhkan alat transportasi kapal laut dan pesawat udara dalam jumlah yang cukup besar. Selama ini telah ada kapal-kapal Pelni yang melayari wilayah ini, namun karena kebutuhannya yang begitu besar, maka belum dapat menjangkau kebutuhan yang ada. Disisi lain pesawat udara hanya dapat dimanfaatkan bagi wisatawan yang banyak duit. Selain persoalan transportasi, sumberdaya manusia, manajemen dan pemasaran juga harus mendapat perhatian melalui deregulasi yang lain. Perhatian pemerintah daerah dalam hal-hal yang terakhir ini harus lebih dominan, mengingat otonomi daerah membutuhkan sumber-sumber baru untuk pendapatan daerah Maluku dengan demikian maka pariwisata menjadi sumber utama lain yang dapat dikembangkan nanti. Upaya yang sungguh-sungguh untuk memasarkan obyek-obyek wisata daerah di Banda harus dilakukan secara gencar dan berkesinambungan serta melakukan kerjasama yang baik dengan perusahaan perjalan dan perhotelan terutama di Jawa dan Bali. Sejalan dengan itu, maka sumberdaya manusia dan manejemen yang baik terus-menerus ditingkatkan. c. Kesulitan Sumberdaya Manusia Secara awam, umum pariwisata di Indonesia dapat disimpulkan sebagai obyek yang disiapkan oleh pemilik pariwisata untuk ditonton oleh pelancong atau dengan kata lain umumnya adalah sebagai pariwisata budaya yang berpusat pada masyarakat. Dalam pengertian seperti ini maka pariwisata adalah barang yang diolah oleh manusia untuk ditontonkan kepada orang lain. Dengan demikian obyek pariwisata yang ada tidak dengan sendirinya dapat memuaskan pelancong, akan tetapi harus lebih dulu “disiapkan”. Ini berarti sumberdaya manusia di bidang pariwisata menjadi amat menentukan dalam menyiapkan obyek-obyek pariwisata yang ada. Kenyataannya, pariwisata di Indonesia Bagian Timur, khususnya Banda belum mampu memenuhi sektor ini seperti yang diharapkan. Hampir semua pusat-pusat kunjungan wisata di Banda tidak memiliki sumberdaya manusia yang memadai. Suatu contoh umpamanya pulau dan taman laut Banda, obyek wisata ini cukup terkenal, keindahan taman lautnya melebihi keindahan taman laut Karibia. Hal ini disebabkan karena taman laut Karibia hanya memiliki 17 species flora dan fauna laut, sedangkan Taman Laut Banda memiliki 350 species. Belum lagi keindahan budaya, agama, alam dan sejarah masa silam masyarakat Banda. Kelebihan tersebut hanyalah sebuah kebanggaan, sedangkan kemampuan masyarakat untuk mengekspos kelebihan itu sebagai suatu obyek wisata masih jauh dari yang kita harapkan. Kesulitan sumberdaya manusia di bidang pariwisata Indonesia Bagian Timur berpangkal dari kurangnya tenaga terdidik dan berpengalaman di bidang ini. Karena di wilayah ini tidak terdapat lembaga pendidikan kepariwisatan, jadi kalau ada lulusan pendidikan kepariwisataan pasti berasal dari daerah lain. Sebaliknya putra daerah yang kebetulan memiliki pengalaman atau mengambil pendidikan kepariwisataan di perguruan tinggi di Jawa atau daerah lain, enggan kembali ke daerahnya masing-masing termasuk Maluku. Begitu pula kemampuan pemerintah daerah di Indonesia Bagian Timur untuk mengembangkan sumberdaya manusia di bidang pariwisata masih amat terbatas, karena dihadapkan dengan kesulitan yang sama pula. Kondisi ini juga di alami oleh kepariwisatan di Banda, bahwa sumberdaya kepariwisataan yang ada di Banda adalah praktisi-praktisi yang hanya mengandalkan pengalaman selama membuka usahan mereka di bidang ini. Sedangkan pemberdayaan dari pemerintah daerah kepada pelaku-pelaku pariwisata tidak ada sama sekali, dengan demikian maka peran ini diambil alih oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang banyak ada di Maluku dan khususnya di Banda dilakukan oleh Yayasan Indonesia untuk Pengembangan Kepariwisataan (Yayasan Intaan). Namun karena setiap LSM memiliki visi dan misi yang berbeda maka pemberdayaan mereka disesuaikan dengan visi dan misi LSM itu, sehingga ada beberapa bidang pemberdayaan yang tidak terkover aktivitas pemberdayaan. d. Problem Manajeman dan Pemasaran Pariwisata Ketika pariwisata itu didefenisikan industri maka tuntutan utamanya selain sumberdaya manusia adalah bagaimana menciptakan manajemen dan pola pemasaran yang mendukung. Manajemen pariwisata berhubungan dengan sumberdaya manusia, namun lebih dekat dengan upaya-upaya menjual pariwisata itu sendiri. Bila dibandingkan dengan bagaimana Bali dan Lombok, Borobudur, Taman Mini, serta Bromo di jual, maka pariwisata Indonesia Bagian Timur khususnya Banda masih jauh ketinggalan. Selama ini kebanyakan masyarakat mancanegara atau bahkan masyarakat Indonesia sendiri, lebih banyak mengenal obyek-obyek pariwisata di Indonesia Bagian Barat karena dari segi manajemen dan pemasaran, dikuasai oleh manajemen pariwisata di Indonesia Bagian Barat karena jaringan market pariwisata dengan sektor pendukung lainnya, seperti perusahaan perjalanan, hotel dan lokasi obyek wisata, selama ini telah dikuasai oleh jaringan yang ada di Indonesia Bagian Barat. Kadang, pandangan parsial dari daerah kunjungan wisata tertentu merugikan daerah lain. Umpamanya, ada upaya agar tamu wisata lebih lama tinggal di daerah tertentu dengan fasilitas tertentu pula. Hal ini mengakibatkan distribusi penyebaran wisatawan tidak merata dan lebih banyak dikuasai oleh daerah-daerah kunjungan wisata yang telah maju seperti di Indonesia Bagian Barat, sedangkan daerah wisata di Indonesia Bagian Timur hanya mendapat sisa-sisa atau buangan wisatawan dari Indonesia Bagian Barat. Penciptaan jaringan publikasi melalui media massa dan melalui berbagai pameran serta usaha lain yang pernah dilakukan oleh pemerintah dan swasta, secara kuantitatif dan kualitatif menguntungkan daerah-daerah kunjungan wisata di Indonesia Bagian Barat. Karena ada kecenderungan untuk lebih banyak mempublikasikan obyek wisata Indonesia Bagian Barat karena persoalan dana. Khususnya Banda, umumnya wisatawan mengunjungi Banda karena memperoleh informasi dari temannya yang pernah berkunjung ke Banda atau melalui literature yang dibaca atau bahkan melalui beberapa gambar yang dibuat oleh wisatawan yang pernah berkunjung ke Banda dan disebarkan di internet. Banyak di anatar mereka pula baru mengetahui Banda secaa kebetulan karena ia sudah berada di Ambon. e. Kendala Jarak dan Biaya Transportasi. Obyek Wisata di Indonesia Bagian Timur yang letaknya masing-masing amat jauh menjadi problem sendiri. Karena daerahnya yang cukup jauh dari pintu utama pariwisata Indonesia yaitu Jakarta dan Bali, maka kebutuhan transportasi menjadi mahal dari biaya akomodasi lokal selama di daerah obyek wisata itu sendiri. Suatu contoh seorang wisatawan yang hendak berkunjung ke Taman Laut Bunaken, apabila ia dari Bali, maka ia harus mengeluarkan uang sekitar ± $ 350 untuk biaya transportasi, padahal biaya sebesar itu sudah cukup untuk akomodasinya di sana sekitar satu minggu. Biaya transportasi yang mahal itu belum menjamin bahwa sewaktu-waktu dapat menggunakan alat transportasi yang dibutuhkan. Bagi wisatawan waktu adalah biaya, karena itu apabila ia harus menunggu angkutan dalam beberapa hari maka itu berarti dia harus merogok kantongnya lebih dalam lagi. Selain itu keselamatan transportasi di daerah-daerah kunjungan wisata Indonesia Bagian Timur terkesan alakadarnya. Faktor keselamatan belum banyak mendapat perhatian, yang penting alat transportasi yang dibutuhkan itu ada. Melihat kendala-kendala pengembangan pariwisata di Indonesia Bagian Timur seperti yang dijelaskan di atas, maka persoalannya tidak terlepas dari konteks pembangunan Indonesia saat ini yang cenderung memusat ke Indonesia Bagian Barat. Karena itu apabila hendak mengatasi persoalan pariwisata di atas, maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah deregulasi transportasi Indonesia Bagian Timur. Indonesia Bagian Timur yang luas wilayah airnya melebihi wilayah daratan itu membutuhkan alat transportasi kapal laut dan pesawat udara dalam jumlah yang cukup besar. Selama ini telah ada kapal-kapal Pelni yang melayari wilayah ini, namun karena kebutuhannya yang begitu besar, maka belum dapat menjangkau kebutuhan yang ada. Disisi lain pesawat udara hanya dapat dimanfaatkan bagi wisatawan yang banyak duit. Selain persoalan transportasi, sumberdaya manusia, manajemen dan pemasaran juga harus mendapat perhatian melalui deregulasi yang lain. Perhatian pemerintah daerah dalam hal-hal yang terakhir ini harus lebih dominan. Upaya yang sungguh-sungguh untuk memasarkan obyek-obyek wisata daerah di Indonesia Bagian Timur harus dilakukan secara gencar dan berkesinambungan serta melakukan kerjasama yang baik dengan perusahaan perjalan dan perhotelan terutama di Jawa dan Bali. Sejalan dengan itu, maka sumberdaya manusia dan manejemen yang baik terus-menerus ditingkatkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar